JAKARTA, Kilastimor.com-Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) hilang setelah masa reformasi 1998 silam. Namun kini GBHN mulai dibicarakan kembali. GBHN tertera aturan-aturan jalannya pembangunan negara yang harus berlandaskan kepada UUD 1945 sebagai tempat tertulisnya tujuan atau cita –cita negara Indonesia. GBHN ini adalah visi misi tertinggi kedua setelah UUD 1945 dalam jalannya pembangunan nasional.
Visi itu dijabarkan dan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden dalam bentuk Rpelita sebagai landasan pembangunan nasional. Proses pembangunan dibantu oleh para menteri yang telah ditunjuk Presiden. penjalanan pembangunan itulah yang dipertanggung jawabkan oleh presiden kepada MPR.
Hal ini dikatakan Anggota MPR RI, Abraham Paul Liyanto, saat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan masyarakat Malaka, di Betun, 20 April 2016 lalu.
Dikatakan, GBHN dibuat oleh MPR melalui ketetapan atau keputusan MPR, untuk jangka waktu 5 tahun. GBHN mengakomodir kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Karena, masyarakatlah yang menikmati hasil dari pembangunan nasional itu.
Maka, setiap daerah di Indonesia harus mengikuti pembangunan dan peraturan yang berasal dari pemerintah pusat, agar perencanaan pembangunan itu berjalan merata setiap daerah.
Tapi kelemahan dari GBHN ini adalah mematikan inovasi masyarakat daerah untuk membangun daerahnya.
Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Selain itu juga, GBHN dihapus karena adanya amandemen Undang –undang yang menghasilkan penguatan daerah otonom berdasarkan UU hasil amandemen yaitu (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004).
Sebagai gantinya, UU No. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP.
Sesungguhnya GBHN dan RPJP ini paparnya, sama fungsinya yaitu sebagai patokan arah pembangunan Indonesia baik pusat dan daerah. RPJP ini dibuat turunannya per lima tahun dengan sebutan RPJM atau rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Lima tahun diambil dari masa kerja seorang Presiden RI. Demikian juga dengan daerah yang harus membuat RPJP dan RPJM masing-masing mengaju kepada RPJPN.
Terkesan semua tertata dengan baik dan benar dan hanya tinggal dijalankan saja.
Sejak 2005, negara ini sudah punya RPJPN 2005-2025.
Isinya antara lain memuat Visi, Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Juga ada sederet Misinya antara lain, mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral, mewujudkan bangsa yang berdaya saing, memujudkan masyarakat yang demokrastis dan berlandaskan hukum, mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan bersatu.
Sehingga, pembangunan nasional direncanakan oleh presiden dan berdasarkan UU dan peraturan presiden dan bukan oleh MPR.
Ada empat sistem perencanaan pembangunan yang berlaku saat ini di Indonesia, yaitu : perencanan di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Namun, keempat lapis perencanaan ini tidak saling bersinggungan karena adanya benturan logika proses pemerintahan.
Atas nama nasional, pemerintah pusat ingin rencananya dijadikan acuan pemerintah daerah, sebaliknya pemerintah daerah atas nama apirasi rakyat merasa mendapat izin menutup mata terhadap agenda nasional. karena benturan itulah pembangunan saat ini terasa kurang memuaskan.
Sementara salah satu perubahan sistem politik Indonesia yang berlangung sejak reformasi adalah perubahan sistim kelembagaan Negara dari sistim MPR sebagai lembaga tertinggi negara, berwenang menentukan arah pembangunan bangsa melalui GBHN menjadi MPR, sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.