NASIONAL

Wacana GBHN Merupakan Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

MPR sebagai lembaga permusyawaratan, tempat bertemu dua lembaga legislatif DPR RI dan DPD RI, memiliki dua wewenang. Pertama, wewenang terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD). Kedua wewenang terhadap Presiden (melantik dan memberhentikan Presiden).

Selain itu, wewenang MPR untuk menentukan arah pembangunan nasional dihapus. Tujuan dari perubahan sistem ini adalah untuk membangun demokrasi kelembagaan agar tidak ada hirarchi kelembagaan.

Dalam perjalanan, paparnya, berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun.

Berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman di masa depan.
GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar kehidupan bangsa.

Hilangnya pagar kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak meminta roh dan jatidiri pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan dalam GBHN.

Memang kalau disimak lebih mendalam, dalam sistim GBHN di era Orde Baru, tripolarisasi ekonomi (BUMN, Koperasi dan Swasta) tidak tegak sama-sama kukuh, sehingga terjadi kepincangan sosial dalam berbagai aspeknya. Padahal tujuan pembangunan nasional dirumuskan dalam Trilogi Pembangunan: Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas.

Baca Juga :   Ruas Jalan Felumasin Malaka Timur Segera Diperbaiki

Kebijakan yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi juga diselewengkan dengan memberikan fasilitas, proteksi dan subsidi ekonomi pada kelompok-kelompok tertentu, sehingga keadilan sosial yang diamanatkan UUD 45 tidak pernah terwujud. Tumbuh konglomerat swasta yang berbau kekuasaan yang menindas pelaku-pelaku ekonomi lemah.

Kondisi ini bagaikan dua sisi mata pedang, jika dapat dikelola dengan baik maka akan menjadi hal yang positif, tetapi jika tidak dapat dikelola dengan baik maka akan muncul “malapetaka”.
Orde Baru dengan sistem GBHN tidak sepi dari berbagai “malapetaka”, sehingga harus diakhiri dengan Reformasi yang mengambil korban.

Wacana penerapan kembali GBHN pasca reformasi menuai polemik.
Mengemuka pro dan kontra. Banyak hal yang harus dikaji, baik secara yuridis, sosiologis dan metodologis. Harus pula diperhitungkan adanya perubahan paradigma berpikir yang ikut merubah arena, wajah dan struktur politik.

Dalam era Reformasi, demokrasi mulai terkondisi diberbagai lini kehidupan,sekalipun demokrasi yang dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi industri politik.

Semua identitas yang muncul dan berkembang didalam masyarakat mendapat ruang. Semua kelompok dari berbagai kalangan mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.

Politik adalah medan wacana dan GBHN bisa menjadi pertempuran wacana, mempertontonkan perebutan dan konflik kepentingan dari para penguasa di negeri ini. Indonesia dengan kondisinya yang sangat multikultural (etnis, bahasa, agama, budaya) yang berbeda-beda, sehingga berpotensi rentan terhadap perpecahan. Yang menguntungkan dan menyelamatkan republik ini adalah adanya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai perekat.

Baca Juga :   10 Kepala Puskesmas Dimutasi Pemkab Malaka

Penerapan kembali sistem GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian visibility yang seksama, karena arena, wajah dan struktur politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi, karena paradigma berpikir terarah kepada kebebasan. (fed)

Pages: 1 2

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top