Oleh: Ian Haba Ora
(Ketua Freepublik NTT)
Lazarus Djehamat dalam opini media di Victorynews pada edisi Jumat, 12 Februari 2016 menulis pandangannya dengan judul, “Politisasi Indonesia Pintar”. Prinsipnya penulis menyepakati apa yang dituliskan bahwa Walikota Kupang terkesan mempersalahkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Jefri Riwu Kore Anggota DPR RI terkait perjuangannya untuk Kota Kupang agar mendapatkan kuota beasiswa PIP tertinggi.
Bahkan Djehamat menyebut politisasi PIP dengan istilah “Bahaya Politik Patron-Klien”. Hemat penulis disadari memang perjuangan Jefri atau biasa disapa Jeriko perlu diancungi jempol. Pemberitaan di beberapa media massa, perjuangan Jeriko ini sampai dipuji oleh Mendikbud Anis Baswedan terkait semangat Jeriko untuk membantu anak-anak usia sekolah di Kota Kupang.
Tapi realitas di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), baik yang tampak di media cetak lokal, media online, maupun media sosial, disebutkan bahwa penyerapan PIP di Kota Kupang dianggap sangat buruk karena disinyalir adanya upaya sistematis Kepala Daerah dalam hal ini Walikota Kupang yang dianggap menghambat penyaluran PIP sampai ke siswa. Dampak dari dugaan ini maka di Kota Kupang penyaluran PIP hanya sebesar 20,07 persen saja. Ini sangat berbeda dengan wilayah di Kabupaten lain di NTT yang penyaluran PIP sudah mencapai hampir 100 persen.
Pemberitaan di Victory News beberapa waktu lalu juga menyatakan bahwa perjuangan PIP oleh Jefri Riwu Kore sebagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan dianggap illegal sehingga melalui kewenangan sebagai Walikota Kupang mengumpulkan seluruh kepala sekolah di Kota Kupang untuk tidak menerbitkan surat keterangan siswa bagi penerima PIP dari jalur aspirasi DPR RI.
Penolakan Walikota Kupang ini dianggap Djehamat sebagai patron-klien yang dapat menjelaskan dengan sangat jitu realitas kekinian politik lokal kota kupang. Kita ketahui bersama bahwa pada 2017 akan dilakukan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, dan Walikota saat ini (Jonas Salean) merupakan petarung pertama yang telah mendeklarasikan diri akan maju lagi bertarung sebagai walikota kupang berikutnya. Mungkin saja penyebab faktor ini yang membuat Djehamat berani menulis jika perseteruan antara Jonas Salean terhadap perjuangan pemangku kepentingan selain dirinya dianggap salah. Bahkan Djehamat menuding melalui tulisannya “Semua perhatian dan segenap kekuatan calon dan bakal calon tertuju pada cara mendapatkan kekuasan”. Djehamat membenarkan bahwa perjuangan Jeriko sudah sesuai dengan UU MD3 No. 17 Tahun 2014. Sedangkan Salean belum sepenuhnya mendapatkan aturan yang dapat membenarkan dirinya untuk menganggap perjuangan Jeriko adalah illegal. Tapi menurut Djehamat, motifnya adalah politik agar bisa terpilih pada saat kontestasi politik tiba.
Namun tidak disadari bahwa apa yang dianggap benar oleh Walikota Kupang dengan mengjustifikasi perjuangan Jeriko sebenarnya mengindikasikan menzolimi warga miskin. Karena perjuangan Jeriko sebagai pemangku kepentingan telah memberi spirit tambahan kuota PIP untuk anak usia sekolah yang ada di Kota Kupang. Seharusnya, Walikota untuk kepentingan warganya wajib mendukung perjuangan pemangku kepentingan lain untuk membangun sumber daya manusia di daerahnya termasuk mencerdaskan anak bangsa.
Tindakan Kepala Daerah ini dianggap telah menciderai komitmen pemerintah bahwa peningkatan pendidikan kuncinya berada di pemimpin daerah (Kilas Kemendikbud, 2015:9). Tapi, Walikota Kupang disinyalir belum sepenuhnya memahami gagasan Mendikbud Anis Baswedan sehingga dianggap belum memahami spirit pemangku kepentingan (stakeholder) dengan tujuan sama membangung sumber daya manusia Indonesia umumnya.
Jefri Riwu Kore (Anggota Komisi X DPR RI) merupakan salah satu stakeholder yang memiliki hak untuk membantu dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia melalui program PIP. Tapi, perjuangan oleh stakeholder ini belum sepenuhnya mendapat respon positif dari Walikota Kupang. Alhasil, penyerapan PIP di Kota Kupang dapat dibilang buruk. Dampak dari belum ada sepakat dari Walikota Kupang maka banyak warga miskin Kota Kupang yang dikorbankan. Seharusnya, Walikota Kupang perlu memahami jika pembangunan manusia membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait.
Fungsi Pengawasan DPR RI
Seharusnya, Walikota Kupang dapat disarankan tidak perlu terganggu dengan adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan selain dirinya. Ini sebagai dampak dari teori pengawasan yang dikemukakan Hans Kelsen (2009:382) bahwa pengawasan yang berbeda muncul dari konsep triaspolitica yang memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pemisahan ini menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan berbeda-beda. Tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan rakyat.
PIP merupakan program pemerintah sekaligus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditinjau dari pengawasan DPR RI maka terdapat pada Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 yang menyebutkan fungsi pengawasan DPR RI dilakukan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Nurcholis (2007:208) juga menyebutkan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislative bukan pemeriksaan untuk menghukum lembaga eksekutif tapi pengawasan untuk menjamin capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Sebelumnya, Mardiasmo (2001:206) telah menjelaskan bahwa pengawasan legislatif tidak perlu diperdebatkan jika hal itu dilakukan mulai dari penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, saran untuk Walikota Kupang adalah tidak perlu mempersoalkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI karena telah dijamin secara aturan yang berlaku.