Dalam konteks itu, kata Nando panggilan akrabnya, pada wilayah perbatasan akan dikembangkan Three angle connection secara universal yakni pembangunan yang berwawasan lingkungan (environment development) yang berorientasi pada prosperity (kesejahteraan masyarakat) dan keamanan yang bagus (security). Tiga aspek ini yang harus diperhatikan di kawasan perbataan. Dalam pengamanan kawasan perbatasan ada dua metode pendekatan. Pertama, hard border rezim berarti menganut rezim keras seperti Amerika yang menerapkan itu di Korea dan Cina. Tentara ditempatkan dititik-titik batas.
Kalau di Malaka, kita akan kembangkan soft border rezim. Artinya, pemerintah tidak perlu membangun tembok pembatas antar negara seperti di Korea dan Cina. Pengembangan perbatasan dari aspek keamanan di Malaka kita menggunakan soft border rezim karena ada kaitan budaya, turunan, sehingga tidak perlu tempatkan pasukan pengamanan yang berlebihan.
Doktor jebolan UGM itu mengatakan break downnya kita akan kembangkan aspek budaya. Kerja sama lintas budaya antar dua negra yang dikemas dalam pelaksanaan festifal budaya dua negara dan membangun kunjungan keluarga untuk memperat jalinan kerja sama dua negara, karena sesungguhnya masyarakat Malaka dan Timor Leste satu secara kultur sama.
Dengan pendekatan itu, diharapkan keamanan kita akan baik karena ada kerja sama dan saling pengertian antar kedua negara. Dibidang prosperity, pemerintah akan fokus pada kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Tingkat kesehatan yang tinggi dengan indikator menekan tingkat kematian ibu dan anak. Pendidikan di kawasan perbatasan harus dibangun baik pendidikan formal dan informal. Dalam melakukan pembangunan di kawasan perbatasan harus memperhatikan aspek environment yang harus berorientasi pada suistainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Kawasan pinggir pantai tidak boleh dibangun bangunan tetapi harus ditata menjadi kawasan terbuka hijau dengan menjaga biota laut guna keseimbangan lingkungan di kawasan perbatasan negara. (boni)