RAGAM

Sumbang Saran Keterpilihan Politik (Tinjauan Dinamika Politik Kota Kupang)

Ian

Ian Haba Ora

Oleh: Ian Haba Ora
(Ketua Forum Pengawas Pelayanan Publik/FreePublik NTT dan Peneliti di Jeriko Center Kupang)

Portal NTT dalam judul berita “Jonas Tegas Mengakui Bagi Proyek dan Jabatan Untuk Keluarga?” (Jumat, 22 Juli 2016) dan “Warga TDM Sebut Jonas Salean Penebar Janji Palsu” (Minggu, 14 Agustus 2016) memberi asumsi jika calon petahana dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kupang Tahun 2017 ini makin terindikasi jauh dari ketidakpercayaan warga. Berdasarkan 2 (dua) judul berita dari salah satu media online tersebut, maka terdapat 3 (tiga) asumsi atau hipotesis dari rumusan pertanyaan berdasarkan judul berita, diantaranya: (1) Apakah bagi-bagi jabatan dan proyek adalah bentuk sikap kolusi dan nepotisme, dan dapatkah ini disebut sebagai politik dinasti?; dan (2) Apakah menyebut Walikota Kupang Periode 2012-2017 sebagai penebar janji palsu merupakan indikasi awal bentuk ketidakpercayaan warga Kota Kupang terhadap petahana?; dan (3) Bagaimana hubungan korelasi pertanyaan (1) dan (2) terhadap faktor keterpilihan politik petahana?

Rumusan-rumusan di atas, akan ditelusuri melalui pandangan ilmiah terhadap politik dinasti terhadap budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); kemudian dilanjutkan dengan cara pandang pemilih terhadap figur; dan disegregasikan terhadap peluang petahana dalam suatu pilkada.

Politik Dinasti

Suyadi (2014) melaporkan hasil penelitiannya terkait politik dinasti yang terjadi di Banten, Bantul, Kendal, Probolinggo, Indramayu, Sulawesi Selatan, Papua, DIY, dan Bali menyimpulkan bahwa politik dinasti dijadikan sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan dengan menempatkan keluarga atau kerabatnya pada pos-pos tertentu di bidang formal (pemerintahan) maupun informal (proyek-proyek atau bisnis). Kemudian dijelaskan bahwa budaya politik familisme merupakan gejala yang sangat kuat yang mempengaruhi lahirnya politik dinasti di Indonesia.
Fatkhuri pengamat politik alumni Australia National University Canberra menyatakan politik dinasti cenderung menampilkan kekuasaan yang koruptif. Dalam teori Inggris abad ke-19 Lord Acton berpesan kekuasaan absolut merupakan lahan korupsi. Kreuzer (2005) dan Cesar (2013) melaporkan bahwa bentuk politik keluarga (politic clan) sebagai bentuk dinasti politik. Dengan demikian kemunculan politik dinasti diakibatkan oleh adanya kemandulan demokrasi dan menjadi awal dari praktek KKN.

Baca Juga :   APBD 2021 Resmi Ditetapkan Pemerintah dan DPRD Kota Kupang

Meskipun demikian adanya landasan ilmiah terhadap praktek politik dinasti, namun beberapa literatur menyebutkan bahwa budaya politik dinasti dalam pandangan politik menjadi sah saja dilakukan, asalkan politik dinasti dilakukan dengan (1) tidak menyimpang dari aturan-aturan; (2) lebih mengutamakan kepentingan rakyat; dan (3) menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat umum.
Pengaruh Pandang Pemilih Terhadap Figur.

Hasil penelitian bersama KPU dan KIPP Sampang (2015) melaporkan bahwa 46,3% perilaku pemilih dipengaruhi variabel-variabel citra sosial, identitfikasi partai, citra kandidat, isu dan kebijakan politik, peristiwa-peristiwa tertentu dan faktor-faktor epistemik. Namun secara umum dinyatakan bahwa variabel-variabel tersebut menentukan pandangan pemilih untuk memilih figur.
Sofianto (2013) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemilih lebih mengutamakan figur yang peduli pada rakyat serta visi-misi dan programnya dianggap sejalan serta bersikap anti korupsi. Kemudian dijelaskan bahwa pemilih tidak menyukai calon yang sering mengumbar janji karena terlalu banyak janji dianggap semakin banyak mengingkari. Banyak mengumbar janji memberikan kesan negatif bagi calon di mata pemilih.

Dinamika Indikasi Dinasti Politik di Kota Kupang.

Pages: 1 2

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top