ATAMBUA, Kilastimor.com-Tiupan angin membawa hawa panas 32 derajat celcius dari aspal di halaman Makodim 1605/Belu siang itu (13/9), tak mematahkan semangat Antonia Soares, janda yang telah ditinggal suaminya saat kerusuhan Timor-Timur (sekarang Republik Demokratik Timor Leste) 1996 silam.
Sebut saja umurnya 63 tahun sesuai KTP. Namun, sebenarnya umur Antonia jauh melebihi itu. Antonia tidak lahir tahun 1954. Tapi karena tuntutan untuk harus memiliki KTP, orang tuanya hanya mampu mengandai-andai. “Mau bilang apa, orang tua saya tidak pernah sekolah jadi, tidak tahu pasti tanggal bahkan tahun lahir saya,” ujar polos Antonia.
Antonia sudah tak sekuat dulu. Kalau berjalan, dia terpaksa harus menggunakan tongkat kayu sepanjang satu meter sebagai kaki ketiganya. Anak wanitanya pun selalu membopong dia saat berjalan. Matanya tak mampu lagi memandang jauh. Pendengarannya pun tak sepeka waktu muda dulu. Hanya kerutan di wajahnya yang mampu menggambarkan usianya.
24 Desember 1996 adalah hari naas bagi Antonia. Suaminya Alfredo Siga adalah Kopral Kepala yang bertugas di kihubrem 164/WD, Dili Timor-Timur. Alfredo mati terbunuh saat mengikuti perarakan penjemputan Uskup Belo dari Bandara Komoro menuju Gereja Katedral Dili.
Saat itu Uskup Dili itu diarak karena baru saja menerima piagam Nobel Perdamaian. Semua orang yang mengikuti perarakan itu adalah mereka yang mendukung kemerdekaan Timor-Timur.
Saat itu, Alvredo datang mengikuti perarakan tidak menggunakan pakaian kebesaran TNI. Namanya TNI dan polisi saat itu adalah musuh besar mereka yang mendukung kemerdekaan.
Menjadi rahasia umum bahwa para anggota TNI dan Polri sudah diincar oleh masyarakat untuk dibunuh sejak tahun 1990. “Kami waktu itu keluar rumah sangat berhati-hati karena kematian terus menghantui kami,” ujar Esteves, salah seorang Anggota TNI yang sekarang bertugas di Kodim 1605/Belu.
Saat Uskup Belo mulai diarak dari bandara Komoro menuju Gereja Katedral Dili, ada beberapa orang yang sudah mengincar Alfredo. Persis sampai di depan Ajenrem 164/WD, beberapa orang mulai berteriak kalau ada tentara di antara mereka sembari mata mereka tertuju pada Alfredo. Karena takut, Alfredo mulai lari dari kerumunan masa. Tapi usahanya itu gagal. Orang-orang mulai memukulnya hingga tewas.
Ada salah seorang temannya yang juga anggota TNI, Leo Suares, berusaha membantu Alvredo. Tapi sayang, Leo pun tak mampu melawan serangan masa yang begitu banyak. Melihat Alfredo yang sudah tak berdaya, Leo pun berusaha melarikan diri dari amukan masa.
“Waktu itu saya lihat orang banyak serang Alfredo. Sontak saya langsung coba selamatkan dia. Tapi apa daya, saya juga diserang masa dan dapat banyak tusukan menggunakan pisau dan parang. Untung saat itu saya bisa selamatkan diri, kalau tidak mungkin bukan hanya Alfredo yang mati,” kisah Leo sembari menunjukan beberapa luka tujukan yang ada di tangan, dada, perut dan belakangnya.
Saat mendengar kabar kalau suaminya dibunuh, tulang Antonia seakan remuk. Dia tak mampu berdiri. Butuh waktu yang lama untuk Antonia bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan lebih mencintai suaminya. Jenasah Alfredo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Saroja Dili.
Menabur bunga dan membakar lilin di makam suaminya setiap minggu adalah sebuah rutinitas yang selalu dijalani Antonia dan anak-anaknya. Antonia selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa, semoga arwah suaminya mendapat tempat yang layak di Surga.