Semakin banyak anak yang tidak dicatat kelahirannya secara de jure dianggap tidak pernah ada, tidak memiliki nama, tidak memiliki jenis kelamin, tidak memiliki tanggal lahir, tidak punya asal usul kekeluargaan dengan siapa pun, dan tidak memiliki status kewarganegaraan. Akibatnya, dapat menyulitkan anak-anak untuk mendapat hak sipilnya karena tidak terlindungi keberadaannya oleh negara.
Untuk Provinsi NTT, saat ini baru mencapai 59,49%. Hal ini menempatkan Propinsi NTT berada di posisi keempat terendah di bawah 60% setelah Papua, Papua Barat, dan Maluku. Propinsi lain yang sudah melampaui target nasional 85% adalah DKI, Jambi, Gorontalo, Sumatera Selatan, DIY dan Kepulauan Bangka Belitung.
Penyebab banyaknya warga masyarakat yang tidak memiliki akta kelahiran dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada di masyarakat maupun yang ada di instansi pelaksana.
Hasil penelitian Pusat Kajian Perlindungan Anak menemukan orang tua yang tidak memiliki akta kelahiran memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar melebihi anak-anak yang juga tidak memiliki akta kelahiran. Hal ini menunjukan bahwa kurangnya pemahaman akan pentingnya idenditas merupakan sesuatu yang diwariskan turun-temurun di dalam keluarga itu sendiri.
Soal strategi pencapaian target 85%, pemerintah perlu untuk menjemput bola. Karena itu, perlu adanya kerja sama antar lini dalam pemerintahan di daerah masing masing.
Selain itu, perlu untuk memahami dengan benar filosofi dari konstitusi yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dalam bentuk pelayanan akta catatan sipil yang otentik. Oleh sebab itu, kedudukan setiap Penjabat Pencatatan Sipil sangatlah elegan untuk menjalankan konstitusi yaitu dengan memenuhi janji negara dengan semangat pelayanan yang membahagiakan masyarakat.
Masih banyak hal yang perlu diperhatikan bersama dalam membangun tertib administrasi kependudukan, khususnya di NTT. “Tentu akan terasa sulit kalau kita lakukan sendiri, jadi jangan cepat menyerah,” ujarnya.
Diakhir sambutannya, Gubernur NTT mengatakan bahwa bukan keinginan seorang anak untuk dilahirkan lalu dibuang. Bukan keinginan seorang anak untuk dilahirkan dari orang tua yang tidak punya akta perkawinan atau orang tua yang tidak jelas asal usulnya.
“Semua itu bukan penghalang bagi Pejabat Pencatatan sipil karena jabatannya berwenang untuk menjalankan tugas yang mulia, membuat anak-anak berani menatap masa depan dengan penuh optimisme,” tuturnya. (richi anyan)
