ATAMBUA, Kilastimor.com-“Nietzsche mungkin benar ketika ia tiba-tiba mengayunkan pedang membunuh tuhan yang diam-diam mengirim kita maut dengan janji surga yang entah.
Telah berulang aku membaca koran yang digenangi darah orang-orang meneguk nikmat maut dengan bom digenggam. Dengan khusyuk doa tinggal kita berkaca pada pada bening air mata malam…”
Inilah sepenggal puisi yang berjudul ‘Tuhan dan Topeng Pembunuh’ dari antologi puisi ‘Monumen Luka’ karya Gusty Fahik.
Dalam membedah puisi ini, salah seorang dosen di Fakultas Sastra, Universitas Sanjaya Dharma,Yoseph Tapi Taum menuturkan bahwa Nietzsche membunuh Tuhan dengan mengatakan “God is dead!” Dengan diberikannya konsep “mati” di dalam Tuhan, Nietzsche menginginkan kita hidup bukan sebagai budak yang takut akan tuannya, melainkan menjadi tuan itu sendiri (Ubermensch). Tuan adalah manusia yang unggul yang lebih dari manusia lainnya.
Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang senantiasa menganjurkan manusia-manusianya bersikap Durschnittlich (tengah-tengah/rerata/medioker) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan menjadikannya kawanan.
Puisi ini mengkontraskan pemahaman Nietzsche dengan “orang-orang meneguk nikmat maut// dengan bom digenggam dalam khusuk doa.” Nietzsche tidak menganjurkan orang membunuh manusia seperti yang dibaca penyair, “Dengan sorban dan janggut mencari mangsa”. Itu bukan cita-cita unggul Nietzsche. Itu tindakan kawanan yang dungu, yang tidak akan menjadi kiblat cinta penyair.
“Cerita, … selamanya tentang manusia dan kehidupannya, bukan tentang kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia. Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana. Biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranku setajam pisau cukur, peradabanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bisa kemput.” (Pramoedya Ananta Toer, 2011)
Pram menegaskan, cerita yang baik adalah cerita yang menggambarkan perjuangan manusia mengatasi persoalan-persoalan hidup yang melilitnya. Cerita tentang kebahagiaan tak menarik dikisahkan. Kisah-kisah bahagia bukanlah milik bumi manusia melainkan Surga.
Kutipan pengarang besar Indonesia yang diambil dari novelnya Bumi Manusia ini baik dijadikan titik tolak untuk membahas puisi-puisi Gusty Fahik dalam Monumen Luka ini. Bumi Manusia ini pula yang dijadikan pisau bedah oleh Yoseph Yapi Taum untuk menilai 41 puisi dalam antologi Monumen Luka karya Anak Tulatudik, Kabupaten Belu tersebut.
“Monumen Luka
Sekali-kali kau cobalah kau ajak aku berziarah baik berikutnya
Ke monumen luka yang kau torehkan dulu
Sekedar membaca atau mengenang nama yang mungkin kukenal
Berbaris rapih seperti biji tasbih yang pernah kupunya.
Kau bilang mereka mati pada suatu ritual
Sebagai tumbal orang-orang yang memuja kebenaran
Seperti korban bakaran anak-anak Tuhan di negeri leluhurmu
Aku tersenyum sendiri oleh kisah itu
Membayangkan kebenaran yang haus darah
Tapi tolong bawa aku ke monumen luka itu,
telah kusediakan bebatang lilin dan sekeranjang bunga
Ingin kutabur pula bulir-bulir air mataku di sana
Pada makam domba-domba korban negerimu
Meski mungkin tak ada yang kukenali nama dan parasnya,
Toh kebenaran datang selalu tanpa nama dan paras, kan?
Monumen Luka bercerita tetang anak-anak manusia “yang mati pada suatu ritual” (jahat) yang dibantai orang-orang (yang merasa benar) “orang-orang yang memuja kebenaran.”