TIMOR

Perkawinan Usia Anak Merupakan Bencana Nasional

Hasto Wardoyo

KUPANG, Kilastimor.com-Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus mendoronf agar tidak ada perkawinan anak.
“Sebetulnya yang namanya perkawinan usia anak juga menjadi bagian dari bencana nasional. Karena juga menggerogoti secara ekonomi, dan juga mengancam terjadinya kematian ibu, kematian bayi, stunting dan seterusnya,” tutur Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) saat membuka webinar “Pencegahan Perkawinan Anak” dalam rangka peluncuran Laporan SWOP 2020 (2/72020).

Menurut Hasto, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik yang melanggar hak-hak dasar anak.
Anak yang menikah dibawah 18 tahun, karena kondisi tertentu memiliki kerentanan lebih besar dalam mengakses pendidikan, kesehatan, sehingga berpotensi melanggengkan kemiskinan antar generasi, serta memiliki potensi besar mengalami kekerasan. Perempuan yang menikah diusia anak juga memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat komplikasi saat kehamilan dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan dewasa, selain itu juga berpotensi pada kematian bayi.

“Praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak yang berdampak pada tumbuh kembang dan kehidupan anak di masa yang akan datang. Karena hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia, sedangkan perkawinan anak merupakan pelanggaraan hak anak. Maka berarti perkawinan anak juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E, M.Si pada kesempatan yang sama.

Baca Juga :   Pemda Malaka Aktifkan Tempàt Isolasi Covid-19 Terpusat Per 17 Agustus 2021

Berdasarkan data UNFPA, sebanyak 33.000 anak perempuan dibawah usia 18 tahun dipaksa menikah di seluruh dunia yang biasanya dengan laki-laki yang jauh lebih tua.
Di Indonesia sendiri, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Saat ini, ada 1,2 juta kasus perkawinan anak yang menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dari segi angka perkawinan anak secara global.

Hasto juga menjelaskan bahwa terdapat 5 hal yang menjadi dampak negatif ketika ada perkawinan anak. Yang pertama adalah menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri. Yang kedua, pada usia anak mereka belum siap melakukan proses reproduktif karena mulut rahim pada usia anak perempuan masih ektropion menghadap keluar sehingga batas antara luar mulut rahim dan dalam mulut rahim yang apabila mengalami seksual intercourse atau hubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun maka akan menjadi initial process of servical cancer.
Yang ketiga yaitu hak-hak anak juga terampas untuk mengakses pendidikan dan kehidupannya. Yang keempat juga ketika kawin pada usia anak mereka tidak punya kesempatan untuk menolak terjadinya kekerasan anak karena tidak cukup kedewasaannya bila terjadi kekerasan di dalam rumah tangga. Dan yang kelima negara memang relatif dirugikan karena secara ekonomi perkawinan anak juga merugikan hampir 1,7 persen, pendapatan negara bisa hilang karena perkawinan pada usia anak.

Baca Juga :   Bawaslu Malaka Sosialisasi UU Pemilu Kepada Mahasiswa

Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengubah batas usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu usia 19 tahun. Namun pada kenyataannya seseorang tetap bisa menikah meski di bawah usia yang ditentukan jika mengantongi dispensasi kawin yang dikeluarkan pengadilan agama setempat. Dispensasi ini tidak ikut direvisi dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, dimana disebutkan orangtua dapat meminta dispensasi jika ada alasan mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dispensasi adalah kendala dalam menekan angka perkawinan anak.

Pages: 1 2

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top