ATAMBUA, Kilastimor.com-Profesi pilot pesawat baik pesawat terbang komersial maupun militer sangat didambakan setiap orang. Selain merupakan profesi yang mentereng, juga berpenghasilan tinggi.
Walau demikian, dari sekian banyak orang yang bermimpi menjadi kapten penerbang, hanya sedikit yang terpanggil dan berhasil dalam seleksi yang ketat.
Untuk mencapai cita itu, bukan hal yang gampang untuk diraih. Dibutuhkan intelektualitas pribadi maupun kejiwaan yang mumpuni.
Senin (23/1/2023) malam lalu, di sekitaran Motabuik, Kelurahan Fatukbot, Kecamatan Atambua Selatan, media ini berkesempatan berbincang-bincang dengan pilot Super Air Jet, Kapten Frederikus Lasakar, yang merupakan putra asal Belu dan menjadi pilot pertama dari daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste itu. Bukan itu saja, Kapten Frederik merupakan putra NTT kedua yang berhasil menjadi pilot pesawat penumpang, setelah seniornya, Kapten Pius Relino dari Ende.
Kepada media ini, Kapten Frederik sapaan karibnya, banyak bercerita ketika ia mengikuti tes atau seleksi hingga pengalamannya menjadi pilot komersial sampai sekarang.
Alumni SMAN 1 Atambua itu bercerita tentang bagaimana ia bisa lolos menjadi pilot.
Sejak kecil, di depan Toko Angkasa Ria, ia suka melihat pesawat terbang pada sore hari. Ternyata penerbangan dari Melbourne, Australia menuju Singapura. Karena kebiasaan itu, ia bertekad untuk menjadi pilot pesawat terbang. “Saya lihat ternyata enak jadi pilot. Itu yang tertanam dalam pikiran,” ujarnya.
Hanya saja menurut tamatan SDN Tanah Merah 1 itu, informasi mengikuti seleksi sangat sedikit. “Saya ke Bandara Haliwen untuk bertanya tentang syarat mendaftar sekolah penerbangan milik pemerintah, namun tidak ada informasi. Malah yang saya dapati, sang kepala sedang mengikat sapinya. Kemudian saya ke Kupang, tapi informasinya tidak ada. Soalnya tidak ada akses internet,” bebernya.
Pada 2003, lulusan SMPN 2 Atambua itu, bersama lima temannya nekat berangkat ke Surabaya, Jawa Timur untuk mengikuti tes sekolah penerbangan milik negara. Ia lolos hingga tahapan Pemantauan Akhir (Pantuhir). Namun karena banyak titipan nama, ia gagal lolos. “Banyak sekali peserta dan titipan orang, karena tes tersebut ditutup tahun sejak 1997 silam,” imbuhnya.
Kemudian pada 2004,
Kapten Frederik sapaannya kembali mengikuti tes di Jakarta, akan tetapi kembali gagal lagi karena titipan orang lebih banyak lagi, sehingga tertutup peluang menjadi pilot.
Setelah tes gagal, ia berjanji untuk tidak lagi menjadi pilot, dan memilih bekerja sembari berkuliah di Jakarta pada tiga kampus yang berbeda. Secara kebetulan pada 2006, ia mendapat informasi beasiswa sekolah terbang pada mading kampus. Beasiswa sekolah terbang itu dibuka oleh maskapai penerbangan Batavia Air. “Saya putuskan untuk ikut lagi, karena ada beasiswanya. Semua keluarga tidak tahu,” terangnya.
Setelah mengikuti seleksi ketat, ia dinyatakan lolos. Pada tahun itu, Kapten Frederik mulai mengikuti pendidikan. “Setelah diterima sekolah penerbangan, saya cuti kuliah. Saya kasi tahu keluarga di Atambua, untuk tidak lagi mengirim biaya makan dan kos, karena ada beasiswa. Keluarga juga tidak tahu kalau saya sudah lolos sekolah penerbangan Batavia Air,” paparnya.
Dua tahun menjalani pendidikan di sekolah penerbangan, ia dinyatakan lulus. Dirinya langsung dikontrak oleh Batavia Air selama 16,5 tahun dan menjadi co-pilot.
Putra bungsu pasangan Almarhum Paulus Lasakar (Lae Pung Leong) dan Yasinta Ikun mengenang dengan baik penerbangan perdana sebagai co-pilot pesawat komersil bersama kapten Kevin Setyawan dengan rute Jakarta-Solo.
“Saat dalam penerbangan, ada petir di depan mata, sehingga saya buta sekitar lima menit. mata saya merah semua. Saya berdoa, kalau Tuhan tidak berkenan untuk saya jadi pilot, Tuhan tolong kasi saya tanda. Tapi akhirnya tetap menjadi pilot sampai sekarang,” timpalnya.
